Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) telah menugaskan PT Pertamina Patra Niaga dan PT AKR Corporindo untuk mendistribusikan 15,1 juta kiloliter (kl) solar pada 2022.
“Kami telah mempertimbangkan aspek permintaan masyarakat dan kapasitas fiskal pemerintah dalam menentukan kuota akhir,” kata Kepala Badan, Erika Retnowati, di Jakarta, Sabtu.
Tiga variabel utama yang diperhitungkan dalam penetapan kuota tahunan adalah laporan pemerintah daerah tentang usulan kuota solar; laporan realisasi penyaluran solar kedua perusahaan pada tahun 2021; dan rumusan akhir ditentukan melalui musyawarah antar pemangku kepentingan terkait, jelasnya.
Selain mendistribusikan 15,1 juta kl solar, pemerintah juga akan mendistribusikan 480 ribu kl minyak tanah tahun ini, katanya.
Badan pengatur mengizinkan Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo untuk menyesuaikan kuota distribusi jika terjadi lonjakan permintaan solar secara tiba-tiba atau gangguan pada jalur distribusi, dengan ketentuan penyesuaian tersebut tidak akan mempengaruhi total kuota yang ditetapkan untuk wilayah tersebut, kata Erika. .
Jika perusahaan memutuskan untuk mengubah kuota distribusi, mereka harus menginformasikan BPH Migas selambat-lambatnya sebulan setelah modifikasi dilakukan, kata kepala badan, menambahkan bahwa laporan itu diperlukan untuk memastikan bahan bakar khusus – pengelompokan untuk solar. minyak dan minyak tanah — akan didistribusikan dengan benar hanya kepada penduduk yang memenuhi syarat.
Rapat komite badan tersebut juga menetapkan bahwa pendistribusian solar dan minyak tanah yang melebihi kuota yang ditetapkan akan dianggap sebagai pendistribusian bahan bakar umum bukan jenis bahan bakar khusus, katanya.
Pemberian tugas pendistribusian minyak khusus kepada perusahaan sejalan dengan tugas BPH Migas untuk memastikan ketersediaan minyak dan gas secara nasional dan distribusi jenis bahan bakar khusus yang tepat kepada penduduk yang memenuhi syarat, kata Erika.
Badan ini juga bertugas mengevaluasi konsumsi solar dan mensosialisasikan peraturan pemerintah kepada pemangku kepentingan terkait dan industri, tambahnya.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyarankan pemerintah memperbaiki harga solar bersubsidi untuk mengurangi kesenjangan harga dengan solar nonsubsidi.
Selisih harga yang ideal antara solar bersubsidi dan nonsubsidi hanya Rp1.000 (sekitar US$0,07), tetapi saat ini solar bersubsidi dibandrol dengan harga Rp5.150 (sekitar US$0,3), sedangkan solar nonsubsidi berharga Rp9.500 (sekitar US$ $0,6),” kata Zakaria dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis.
Zakaria mendesak polisi untuk membantu mengawasi pendistribusian solar bersubsidi, karena sumber daya Badan Pengatur Industri Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terbatas.
“Pendistribusian solar bersubsidi juga harus ditentukan oleh daerah, bukan oleh distributor untuk memungkinkan distributor minyak Patra Niaga mentransfer solar ke daerah yang mengalami kekurangan solar bersubsidi,” jelas direktur.
Kelangkaan solar bersubsidi yang terjadi di beberapa SPBU merupakan kasus yang terisolasi dan tidak menunjukkan kelangkaan BBM di seluruh wilayah, karena solar umum dan solar industri akan terjadi kelangkaan BBM secara umum, ujarnya.
“Saya yakin kelangkaan solar bersubsidi yang terjadi di beberapa SPBU merupakan kasus yang terisolasi dan bukan berarti kelangkaan BBM terjadi di daerah, karena pendistribusian solar industri dan pelayaran tidak terhambat,” jelas Zakaria. .
Meski meyakini bahwa kelangkaan bahan bakar saat ini hanya terjadi pada kasus-kasus tertentu, Zakaria mempertanyakan efektivitas kebijakan digitalisasi yang diberlakukan otoritas SPBU yang seharusnya bisa memberi tahu tentang potensi kelangkaan bahan bakar, seperti data stok bahan bakar di setiap SPBU. dapat diakses.
Pengamat kebijakan publik juga mendesak BPH Migas dan perusahaan minyak nasional Pertamina untuk memberikan penjelasan yang masuk akal kepada publik tentang kelangkaan solar bersubsidi.